Kau akan tahu bahwa kau telah menyakiti seseorang, saat mereka berhenti menjelaskan apa yang mereka rasakan.
Ada waktu-waktu dalam hidup di mana kita baru benar-benar melihat sesuatu ketika semuanya sudah terlanjur tak bisa disentuh. Ketika suara yang dulu akrab berubah menjadi hening yang tak bisa lagi dijangkau oleh kata apa pun.
Aku pernah berpikir bahwa memahami seseorang bisa ditunda, bahwa selama segalanya masih terlihat baik-baik saja, tak apa jika aku belum sepenuhnya mengerti. Ternyata, aku salah. Rasa kecewa tidak selalu datang dalam bentuk marah atau tangisan. Kadang ia diam saja, menumpuk di balik senyum, dan pelan-pelan menjauh tanpa suara.
Mungkin aku terlalu sering mengira segalanya akan kembali seperti semula. Bahwa tak apa jika aku lambat merespons, tak peka, atau tak tahu bagaimana caranya mendengarkan dengan benar. Padahal di balik sikap tenangmu, kau hanya sedang mengukur seberapa lama lagi kau bisa bertahan.
Dan aku… tak pernah menyadari bahwa setiap upayamu untuk bicara sebenarnya adalah bentuk cinta. Yang pada akhirnya kau lepas, bukan karena tak cinta lagi, tapi karena terlalu lama mencoba mengabaikan dirimu sendiri hanya untuk aku yang tak menyadari bentuk perhatian yang kau beri.
Kau berkata bahwa kau tidak membenciku. Dan aku tahu, itu benar. Tapi justru karena tidak ada kebencian, kepergianmu terasa lebih dalam. Seolah-olah kau telah melalui begitu banyak pertimbangan… dan akhirnya menyerah, bukan pada hubungan ini, tapi pada harapan yang tak pernah benar-benar kau temukan jawabannya dariku.
Aku mencoba meminta maaf. Tapi tidak semua luka bisa disembuhkan oleh kata. Ada jarak yang tercipta bukan karena langkah, tapi karena hati yang sudah lebih dulu menyerah.
Yang tersisa kini hanya ruang kosong yang dulunya penuh suara. Dan di situ, aku mulai melihat diriku sendiri dengan jujur, bukan yang ingin kulihat, tapi yang sebenarnya terjadi. Seseorang yang keras kepala. Yang tak tahu kapan harus mengalah. Yang tidak pernah bermaksud menyakiti, tapi terus melakukannya lewat ketidaktahuan.
Kepergianmu menyisakan banyak tanya. Tapi satu yang paling menggema adalah mengapa aku tak bisa berubah saat kau masih di sini? Dan mengapa aku baru belajar saat kau sudah tak lagi menunggu?
Aku ingin kau tahu, meski mungkin sudah tak ada gunanya bahwa aku mendengarmu sekarang. Bahwa aku mulai mengerti, walau terlambat. Dan jika ada yang paling aku sesali, itu bukan hanya karena kau memilih pergi… tapi karena aku tak cukup cepat menjadi seseorang yang bisa kau tinggali lebih lama.
Mungkin aku masih egois karena berharap. Tapi di antara semua rasa bersalah dan diam yang tertinggal, aku hanya ingin satu hal, semoga kau bahagia, di mana pun langkahmu kini. Dan bila suatu hari kita bertemu lagi meski tak lagi dengan cara yang sama, aku ingin kau melihat seseorang yang telah belajar dari kehilangan karena kebodohannya. Terima kasih sudah membuat ku menyadari betapa berharganya rasa perhatian seseorang yang sudah diberikan kepada ku. Maaf aku terlambat, semoga kamu lebih beruntung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar